Kepadaan Linguistik yang tinggi menjadi perspektif ketenagaan bahasa indonesia |
Ditulis Oleh Administrator | |
Wednesday, 26 August 2009 | |
Dra. Marida Gahara Siregar, M.Hum. 1. PendahuluanKajian bahasa dewasa ini ditandai oleh berkembangnya perspektif baru di dalam melihat permasalahan kebahasaan. Perspektif baru itu kemudian menjelma menjadi bidang kajian baru di dalam linguistik yang bernama pragmatik linguistik. Pokok bahasannya adalah hubungan di antara bentuk-bentuk bahasa (language forms) dan penggunaannya, yakni penggunaan bahasa di dalam situasi yang sebenarnya. Dalam arti inilah pengertian dasar pragmatik itu berkisar. Pragmatik mempelajari hubungan antara bentuk bahasa dan penggunaanya. Berdasarkan hal ini, pragmatik dapat dikatakan berbeda secara substansial dengan bakal cikal ilmu bahasa, yaitu linguistik. Di dalam linguistik, bahasa dikaji tanpa merujuk kepada siapa yang menggunakan bahasa itu, di dalam arti siapa yang berujar (termasuk di mana, tentang apa, untuk apa) penting dirujuk karena faktor-faktor inilah yang menentukan apa makna ujaran atau, tepatnya, maksud ujaranya. Tujuan tulisan ini, antara lain, menempatkan kedudukan pragmatik di dalam wadah teori linguistik Hal ini disebabkan penalaran dasar linguistik adalah bahwa kita tidak dapat memahami hakikat bahasa tanpa memahami permasalahan di dalam perspektif kata yang luas, termasuk bagaimana bahasa digunakan di dalam komunikasi. Selain itu, ia bertujuan agar para penegak bahasa (peneliti, dosen, guru) memerhatikan disiplin baru yang bernama pragmatik ini. Tulisan ini juga untuk menunjukkan bahwa dengan menambah wawasan bidang kajian antardisiplin yang lain, linguis dapat menambah kepadaan (adequacy) linguistik. Penalarannya adalah bahwa dengan hanya berkisarnya kajian linguistik pada permasalahan intrabahasa, kepadaan linguistik perlu ditingkatkan. Pada saat ini, permasalahan bahasa akan menjadi banyak dan kompleks, tidak terbatas pada masalah bahasa sebagai sistem. Dengan demikian, para linguis pun dituntut untuk membedah lebih tajam masalah kebahasaan terutama di dalam pengertian linguistik tradisional, yang kadang-kadang disebut mikrolinguistik Di dalam pengertian tradisional ini, linguistik diartikan sebagai ilmu bahasa yang terdiri atas beberapa komponen, yaitu komponen fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan akhirnya semantik yang mengkaji makna kata dan kalimat. Dengan demikian, titik tolak tulisan ini ialah asumsi bahwa kepadaan linguistik perlu dikembangkan agar posisi tenaga bahasawan untuk menangani permasalahan kebahasaan lebih luas. 2. Kepadaan Linguistik Berkaitan dengan teori tata bahasa generatif, Chomsky mengatakan bahwa ada tiga tingkat kepadaan yang dapat dimiliki oleh teori bahasa. Pendapatnya dapat diterapkan ke teori umum. Kepadaan itu mengacu ke pertanyaan apakah suatu teori memadai atau tidak sebagai landasan untuk membahas permasalahan yang ada. Ketiga tingkat kepadaan itu ialah kepadaan observasional, deskriptif, dan kepadaan eksplanatori. Teori observasional mengacu ke kepadaan teori sehingga pengguna teori dapat mengamati mana yang benar dan mana yang salah atau dengan perkataan lain, ia dapat mengidentifikasi apa masalahnya. Dengan demikian, kepadaan observasinal ini dapat digunakan pengguna teori untuk mengamati atau melihat apakah suatu bentuk itu benar atau salah. Tingkat kepadaan kedua adalah tingkat kepadaan deskriptif, mengacu ke kepadaan teori yang memungkinkan pengguna suatu teori dapat mendeskripsikan suatu bentuk dengan benar. Kepadaan yang ketiga eksplanatori, mengacu ke kepadaan yang memungkinkan pengguna teori untuk dapat menjelaskan mengapa suatu bentuk itu benar atau salah. Di dalam praktik lingustik, soal benar atau salah itu kemudian dinyatakan sebagai yang apik di dalam arti yang terbentuk dengan apik (well-formed) atau tidak apik di dalam arti yang tidak terbentuk dengan baik (ill-formed). Sehubungan dengan hal keapikan ini, linguistik jelas mempunyai kepadaan yang tinggi. Linguistik dapat didefinisikan sebagai disiplin yang mengkaji bahasa sebagai sistem komunikasi manusia, tetapi ada pembatasan permasalahan bahwa yang di luar bahasa tidak menjadi objek kajian. Sebagai ilmu yang membatasi diri pada hal-hal intrabahasa, linguistik mempunyai kepadaan yang tinggi untuk mengidentifikasi mana yang benar dan mana bentuk yang salah atau mana yang apik mana yang tidak apik, baik secara morfologis, sintaksis, maupun secara semantik yang semuanya didasarkan pada kaidah yang berlaku. Contoh: Bentuk merubah tidak apik secara morfologis karena menurut kaidah bahasa Indonesia imbuhan meng- (meN-) berubah menjadi me- jika kata dasarnya diawali oleh bunyi vokal. Dengan demikian, bentuk yang apik seharusnya adalah mengubah. Yang berikut adalah bentuk tidak apik (ditunjukkan oleh bentuk a) dan yang apik (ditunjukkan oleh bentuk b) sebagai berikut. 1. a. kerjasama b. kerja sama 2.a. mengenyampingkan b.mengesampingkan 3.a.Dengan munculnya Budiono sebagai wapres menunjukkan tampilnya tokoh-tokoh berkualitas makin banyak b.Munculnya Budiono sebagai wapres menunjukkan tampilnya tokoh-tokoh berkualitas makin banyak. 4.a. Meskipun hari hujan, namun ia datang juga. b. Meskipun hari hujan, ia datang juga 5.a. Bagi yang berminat, diminta mendaftarkan diri b. Yang berminat diminta mendaftarkan diri. 6.a. Karena tidak punya uang, sehingga ia tidak jadi membeli buku itu. b.Karena tidak punya uang, ia tidak jadi membeli buku itu. 7.a. Ia tidak tahu kalau pamannya sudah meninggal. b. Ia tidak tahu bahwa pamannya sudah meninggal. 8.a. Dalam seminar ini diharapkan banyak memberikan manfaat kepada para guru- guru. b. Seminar ini diharapkan banyak memberikan manfaat kepada para guru. 9.a. Seperti kita ketahui, bahwa harga ditentukan oleh permintaan dan persediaan. b. Seperti kita ketahui, harga ditentukan oleh permintaan dan persediaan. 10.a. Gubernur itu dilantik sejak 17 Oktober 2004. b. Gubernur itu dilantik pada 17 Oktober 2004. Berdasarkan logika, tampaknya bentuk-bentuk, seperti harganya mahal, jumlahnya banyak, dan usianya tua dapat dikatakan tidak apik secara semantik. Yang logis dan apik secara semantik kiranya adalah harganya tinggi, jumlahnya besar,dan usianya lanjut. Contoh lain: 11. Kalla lebih kaya dibandingkan dengan Wiranto. Contoh itu dapat menunjukkan kekurangapikan secara semantik. Alasannya dalam contoh ada frasa lebih kaya. Kita sudah membandingkan dua entitas yang dalam bahasa Inggris degree of comparison; setelah membandingkan masih membandingkan lagi dengan mengatakan dibandingkan dengan. Lain halnya jika dikatakan Kala kaya dibandingkan dengan Wiranto. Artinya, Kala lebih kaya daripada Wiranto. Pada kedua kalimat terakhir ini perbandingan tidak dilakukan dua kali. Dengan demikian, pembentukannya apik. Contoh 1—11 termasuk permasalahan intrabahasa (bahasa Indonesia), jadi jelas bahwa linguistik mempunyai kepadaan yang tinggi. Ia dapat memilah-milah mana bentuk yang apik. Namun, linguistik tradisional tidak dapat menjelaskan mengapa, misalnya, lagu kalimat yang sama dan dikatakan kepada orang yang baru dikenal, seperti minum kopinya terdengar lebih santun daripada dorong mobil saya walaupun keduanya bermodus sama, yakni modus imperatif. Demikian juga halnya dengan istilah atau kata baru, ada yang cepat diterima, misalnya mantan dan wacana, tetapi ada juga yang tidak laku, dalam arti masyarakat tidak mau menggunakannya. Dengan demikian, kepadaan linguistik memang masih perlu ditingkatkan agar linguis berada pada posisi yang lebih baik untuk menjelaskan dan kalau mungkin memecahkan permasalahan kebahasaan. 3. Formalisme dan Fungsionalisme Tinjauan fokus bentuk-bentuk bahasa (linguistic formes) menjurus ke pandangan fungsionalisme dalam kajian linguistik. Menurut pandangan ini, kajian bahasa bertujuan memerikan dan menjelaskan fungsi bahasa, yakni untuk apa bahasa itu digunakan. Dua pandangan ini bertentangan Leech (1983:46) sebagai berikut. 1. Pokok bahasan linguistik menurut pandangan formalisme adalah apa yang diketahui penutur dan petutur, sedangkan pokok bahasan linguistik menurut pandangan fungsionalisme adalah apa yang dapat dilakukan oleh penutur dan/atau petutur dengan menggunakan bahasa. 2. Tentang keberadaan bahasa seperti sekarang, menurut kubu formalisme adalah karena bahasa merupakan wujud kemampuan otak manusia yang diwarisi secara genetik. Sebaliknya, menurut kubu fungsionalisme, hal itu karena bahasa telah ber-evolusi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan pemakainya. 3. Kesemestaan bahasa menurut kubu formalisme adalah anugrah biologis yang dimiliki manusia. Sementara itu, fungsionalis mempostulatkan bahwa ada kesemestaan bahasa timbul dari kenyataan bahwa semua kebudayaan mempunyai kesamaan kebutuhan komunikasi. 4. Tentang bagaimana anak belajar bahasa, faham formalisme mempostulatkan bahwa anak dilahirkan dengan properti pemerolehan bahasa (language acquisition deviced). Sebaliknya, faham fungsionalisme mempostulatkan bahwa anak belajar bahasa dengan belajar berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain di dalam situasi yang menuntut penggunaan bahasa. 5. Tentang kajian bahasa, para penganut faham formalisme menganggap bahasa sebagai fenomena mental dan mengkaji bahasa sebagai sistem yang otonom, sedangkan para penganut faham fungsionalisme menganggap bahasa sebagai fenomena sosial dan mengkaji bahasa di dalam kaitannya dengan fungsi sosial bahasa itu. Masih mengenai perbedaan faham formalisme dan faham fungsionalisme, ada pendapat yang mengatakan bahwa istilah fungsionalisme tidak harus dikaitkan dengan fungsi di luar bahasa sebagai sistem. Fungsionalisme, kata mereka, dapat juga dipakai di dalam kaitannya dengan hal-hal intrabahasa. Jika fungsionalisme diartikan seperti itu, di dalam linguistik aliran struktural pun ada fungsionalisme. Misalnya, seperti yang dicontohkan oleh Verschueren (1999:9), fonem /f/ dan fonem /v/ di dalam bahasa Inggris membentuk kontras fungsional karena keduanya membedakan kata-kata seperti few dan view. Di dalam sintaksis pun ada pandangan fungsionalisme, seperti yang dikemukakan oleh Dik (1978), yang dikutip oleh Kridalaksana (2002:35) yang menjabarkan fungsi menjadi tiga, yaitu fungsi semantis, fungsi sintaksis, dan fungsi pragmatis. Fungsi semantis membedakan bagian kalimat menjadi pelaku, sasaran, penerima, dsb., yang mengingatkan kita pada peran semantis di dalam struktur semantis teori semantik generatif. Fungsi sintaktis membagi bagian kalimat menjadi subjek dan objek, yang mengingatkan kita pada cara menganalisis kalimat dengan menggunakan teori ilmu bahasa tradisional. Fungsi pragmatis membagi bagian kalimat menjadi tema, topik, dan fokus, seperti yang dianut dalam teori bahasa aliran Praha (ibid), dengan catatan bahwa pengertian pragmatis di sini berbeda dari pengertian pragmatis seperti yang berkembang sekarang. Fungsionalnya teori Dik itu, yang tidak dapat disangkal adalah bahwa fungsi-fungsi itu dikaitkan dengan fungsi bagian kalimat. Jadi, teori sintaksis model Dik ini tetap berkisar pada nosi kalimat dan karena kalimat adalah bentuk bahasa (linguistic form), fungsionalisme seperti ini dapat dikatakan fungsionalisme di dalam kubu formalisme. Fungsi kalimat di dalam teori Dik itu tidak dikaitkan dengan siapa yang mengujarkan kalimat itu sehingga ia tidak ditinjau untuk maksud apa kalimat itu diujarkan. Yang benar-benar fungsionalisme seperti yang dirujuk di dalam tulisan ini adalah fungsionalisme yang mengacu pada pendapat untuk apa bahasa digunakan oleh penggunanya. Bedanya dengan formalisme dapat dilihat dari bagaimana kedua aliran ini menelaah bentuk bahasa. Di dalam aliran formalisme, bentuk bahasa yang tertinggi—sebelum wacana—adalah kalimat dan oleh para formalis ia dibedakan menurut modusnya, yakni deklaratif (yang mengacu ke kalimat pernyataan), interogatif (yang mengacu ke kalimat tanya), dan imperatif (yang merujuk ke kalimat perintah). Sebaliknya, di dalam aliran fungsionalisme, bentuk bahasa yang berupa kalimat—yang disebut ujaran atau tindak tutur (speech act) seperti kalimat—dibedakan berdasarkan maksud ujaran menurut penuturnya: untuk apa ujaran itu dilontarkan. Mengikuti Searle (1969), maksud atau fungsi ujaran itu, yang olehnya disebut makrofungsi, adalah tindak komisif, direktif, ekspresif, deklarasi (bukan deklaratif), dan representatif. Tindak komisi adalah tindak tutur (speech act) yang pengujarannya dimaksudkan oleh penutur sebagai komitmen dirinya untuk melakukan hal yang disebutkan di dalam ujarannya itu (misalnya berjanji, mewajibkan, bersumpah). Tindak direktif adalah tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud agar si petutur melaksanakan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran penutur (misalnya menyuruh, memohon, mengimbau). Tindak ekspresif adalah tindakan yang dilakukan penutur dengan maksud menyatakan pendapatnya mengenai hal yang disebutkan dalam ujarannya (misalnya berterima kasih, memuji, mengkritik, dsb.). Deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk menimbulkan perihal atau status baru (seperti mentahbiskan, menjatuhkan hukuman, menikahkan). Tindak representatif adalah tindak tutur yang mengingatkan penuturnya kepada kebenaran tentang apa yang dikatakan (misalnya menyatakan, mengakui, bersaksi). Dengan sengaja Searle menggunakan istilah declaration, untuk fungsi ujaran yang keempat itu, alih-alih declarative. Hal ini adalah untuk membedakannya dari istilah declarative yang sudah “terlanjur” dipakai untuk modus kalimat. Barangkali untuk menghindari kemungkinan kerancuan di antara istilah tata bahasa dan istilah pragmatik itu. Fraser (1978) mengganti declaration itu dengan establishive. Ia juga mengganti istilah Searle expressive dengan evaluative. 4. Bidang-Bidang Antardisiplin Telah disinggung di atas bahwa teori linguistik mempunyai kepadaan yang tinggi, baik kepadaan observasional, kepadaan deskriptif, maupun kepadaan eksplanatori, untuk hal-hal yang bersifat intrabahasa, yakni hal-hal yang terdapat di dalam sistem bahasa. Untuk hal-hal di luar bahasa, tampaknya, seperti yang juga pernah disinggung, linguistik perlu dilengkapi dengan tilikan-tilikan yang dapat kita peroleh dari banyak disiplin yang lain. Dengan bekal tilikan-tilikan itu para linguis berada di dalam posisi yang lebih baik untuk mengidentifikasi masalah kebahasaan dan kemudian, kalau bisa, dapat memecahkannya. Yang jelas, tidak mungkin kita dapat memecahkan masalah tanpa terlebih dahulu dapat mengidentifikasi apa masalahnya. Karena banyak ilmu lain yang dapat “dikawinkan” dengan linguistik, kita memperoleh banyak bidang kajian antardisiplin. Perkawinan dengan sosiologi membuahkan sosiolinguistik atau sosiologi bahasa, bergantung pada penekanannya. Perkawinan dengan antropologi membuahkan linguistik antropologi atau antropologi linguistik, yang sekali lagi bergantung pada ilmu mana yang ditekankan. Perkawinan dengan psikologi menghasilkan psikolinguistik. Demikian seterusnya sehingga kita memperoleh bidang-bidang kajian antardisiplin yang lain, seperti neurolinguistik, linguistik komputasional, linguistik forensik, linguistik pendidikan (linguistik kependidikan?), linguistik biologi, etnolinguistik linguistik statistik (yang mengkaji fitur-fitur bahasa secara kuantitatif), dan teolinguistik (yang mengkaji bahasa yang dipakai oleh pakar alkitab, ahli teologi di dalam teori dan praktik kepercayaan agama) (Crystal, 1987:412). Makin banyak bidang antardisiplin yeng dikuasai oleh linguis, makin tinggilah kepadaannya sebagai pengamat masalah ekstrabahasa. Tidaklah mungkin kita mengharapkan linguis kita menguasai semua bidang antardisiplin yang ada. Di bawah ini diulas, secara ringkas saja, beberapa bidang kajian antardisiplin linguistik, yakni yang sering dijadikan area topik dalam rangka penulisan makalah, tesis, atau disertasi di Indonesia. Contoh masalah pun diambil yang penting saja. 5. Simpulan Tujuan utama tulisan ini adalah menjual dagangan barang baru yang berlabel pragmatik. Mudah-mudahan para linguis junior ada yang tertarik. Harapan saya adalah hendaklah para linguis muda tidak membatasi diri pada telaah bahasa saja. Telaah penggunaan bahasa di dalam situasi yang sebenar pun perlu dan ini menjanjikan hasil telah yang lebih menarik karena telaahnya lebih dinamis daripada telaah yang hanya berkisar pada hal-hal yang bersifat intrabahasa. Sama sekali hal itu tidak berarti tinjauan linguistik tradisional atau mikrolinguistik tidak berguna. Justru sebaliknya, teori linguistik tradisional berguna sebagai landasan untuk mengkaji perihal yang bersifat ekstrabahasa. Dengan teori-teorinya yang bermutu tinggi, linguistik tradisional pun berguna sebagai ajang mengasah wawasan kebahasaan kita. Dari perspektif permasalahan bahasa secara luas, yang “kurang” di dalam linguistik tradisional adalah keterbatasan dimensi sosial, dimensi kultural, serta dimensi penggunaan bahasa di dalam situasi komunikasi yang sebenar. Wawasan pragmatik memang perlu sebagai pemerluasan wawasan linguistik. Wawasan sosiolinguistik dan linguistik kebudayaan, serta wawasan linguistik statistik juga perlu dimiliki oleh para linguis muda. Implikasinya di dalam program studi linguistik adalah perlu adanya spesialis-spesialis di berbagai bidang antardisplin. DAFTAR PUSTAKA Ancok, Djamaludin. 1995. Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Anderson, Benedict R.O.G. 1990. Language and Power: Esploring Political Cultures. Ithaca: Cornel University Press Anshen, Frank. 1978. Statistics for Linguistics. Rowley, Mass: Newbury House Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Oxford: Clarendom Press Browsn, P dan S.C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage: Cambridge: CUP Crystal, D. 1987. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: CUP Dik, Simon. 1978. Functional Grammar. Amsterdam: North Holland Dascal. M. 1987. Pragmatics and the Philosophy of Mind I: Thought in Language. Amsterdam: John Benjamin Fasold. Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society: Oxford: Basil Blackwell Fasold, Raph. 1990. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Basil Blackwell Gazdar, Gerald. 1979. Pragmatics Implicative, Presupposition and Logical Form. New York: Academic Press. Gice, H.P. 1975. Logic and Coversation. Dalam Cole P dan J.L. Morgan (ed). Syntax and Semantics 3: Speech Acts. New York: Academic Press. 41-58 Gunarwan, Asim. 1993. The politeness rating of English and Indonesian directive types among Indonesia learners of English: Towards contraxtive pragmatics. Fourth International Pragmatics Conference. Kobe, Jepang, 4-9 Juli Gunarwan, Asim. 1994. The encroachment of the Indonesian language upon the home domain use of the Lampung language. Makalah pada seventh Conference on the Austronesian Linguistics. Leiden, 19-24 Juli. | |
Pemutakhiran Terakhir ( Monday, 05 October 2009 ) http://www.pppptkbahasa.net/index.php?option=com_content&task=view&id=81&Itemid=47 |
1 comment:
di bhagian bwah ada laman web sbenar.bleh la meluangkan masa seketika di laman web itu.~sesuai untuk di jadikan rujukan kepada plajar linguistik untuk mendptkan maklumat tmbhan.
Post a Comment